Senin, 28 Maret 2016


MAHZAB BAQIR AS-SADR

Pemikiran dari Mazhab Baqir As-Sadr ini banyak dikembangkan di kalangan cendekiawan dari Iran dan Irak. Beberapa tokoh mazhab ini antar lain Muhammad Baqir al-Shadr, Abbas Mirakhor, Baqir al-Hasany, Kadim al-Shadr, Iraj Toutounchian, dan Hedayati. Cendekiawan yang menjadi pionir dalam mazhab ini adalah Baqir As-Sadr dengan bukunya yang bernama Iqtishaduna (Ekonomi Kita). Menurut pemikiran As-Sadr bahwa dalam mempelajari ilmu ekonomi harus dilihat dari dua aspek, yaitu aspek philosophy of economics atau normative economics dan aspek positive economics. Contoh aspek positive economics yaitu mempelajari teori konsumsi dan permintaan yang merupakan suatu fenomena umum dan dapat diterima oleh siapa pun tanpa dipengaruhi oleh ideologi. Dalam teori konsumsi dirumuskan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi suatu barang adalah tingkat pendapatan, tingkat harga, selera dan faktor-faktor nonekonomi lainnya. Berdasarkan hukum permintaan (law of demand) bahwa ada kolerasi yang negatif antara besarnya tingkat harga barang dengan jumlah barang yang diminta asumsi ceteris paribus. Jika harga barang naik jumlah barang yang diminta akan turun dan sebaliknya. Fakta ini terjadi pada konteks ekonomi di mana pun dan oleh siapa pun tanpa melihat latar belakang sosial, budaya, agama, politik, dan sebagainya. Adapun dari aspek philosophy of economics yang merupakan hasil pemikiran manusia, sehingga akan dijumpai bahwa tiap kelompok manusia mempunyai ideologi, cara pandang dan kebiasaan (habit) yang tidak sama. Persoalan ‘kepantasan’ antara satu anggota masyarakat dengan anggota lainnya masing-masing memiliki batasan atau definisi sendiri. Makan sambil berdiri dan menggunkaan tangan kiri merupakan hal yang pantas dan biasa di masyarakat Eropa, namun lain halnya pada masyarakat di Indonesia. Dalam pandangan Islam bahwa sesuatu dianggap ‘pantas’ manakala hal itu dianjurkan dalam Islam dan sesuatu dianggap ‘tidak pantas’ jika hal itu dicela dan dilarang menurut syariah. Contoh lain misalnya menyangkut pembahasan ‘keadilan’. Menurut konsep kapitalisme klasik yang dimaksud dengan ‘adil’ adalah you get what you deserved artinya ‘Anda mendapatkan apa yang telah anda usahakan’. Sedangkan kelompok sosialisme klasik menerjemahkan makna ‘adil’, yaitu no one has previlege to get more than others artinya tidak ada orang yang mendapatkan fasilitas untuk memperoleh lebih dari yang lain dengan kata lain bahwa setiap orang mendapat sama rata. Akan tetapi, Islam mempunyai makna tersendiri dalam memaknai ‘adil’, yaitu laa tadhlimuuna wa laa tudhlamuuna artinya tidak saling mendzalimi satu sama lain.
Menurut pendapat Mazhab Baqir As-Sadr bahwa terjadi perbedaan prinsip antara ilmu ekonomi dengan ideologi Islam sehingga tidak pernah akan bisa dicari titik temu antara Islam dengan Ilmu ekonomi. Jadi, menurut mazhab ini bahwa ekonomi Islam merupakan suatu istilah yang kurang tepat sebab ada ketidaksesuaian antara definisi ilmu ekonomi dengan ideologi Islam. Ada kesenjangan secara terminologis antara pengertian ekonomi dalam perspektif ekonomi konvensional dengan pengertian ekonomi dalam perspektif syariah Islam sehingga perlu dirumuskan ekonomi Islam dalam konteks syariah Islam. Pandangan ini didasarkan pada pengertian dari ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa masalah ekonomi timbul karena adanya masalah kelangkaan sumber daya ekonomi (scarcity) dibandingkan dengan kebutuhan manusia yang sifatnya tidak terbatas. Dalam al ini Mazhab Baqir As-Sadr menolak pengertian tersebut sebab dalam Islam telah ditegaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk di dunia ini termasuk manusia dalam kecukupan sumber daya ekonomi sebagaimana ditegaskan melalui firman-Nya dalam Surah Al-Furqan (25) ayat 2:
















Pada ayat ini Allah memuji diri-Nya dengan menurunkan Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW yang disebutnya “hamba-Nya”. Untuk menjadi peringatan bagi alam semesta (manusia dan jin). Dengan pujian terhadap diri-Nya karena Dia menurunkan Al-Quran kepada Nabi Muhammad, dapatlah dipahami bahwa Al-Quran itu adalah suatu kitab yang amat penting dan amat tinggi nilainya disisi Allah, karena Al-Quran adalah petunjuk dan pedoman hidup bagi makhluk-Nya yang dimuliakan-Nya, yaitu manusia, sedangkan ciptaan-ciptaan lainnya, baik di langit maupun di bumi adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri. Allah tidak menyebut Al-Quran, tetapi Al-Furqan pada ayat ini karena Al-Quran itu adalah pembeda yang hak dan yang batil antara petunjuk dan kesesatan dan berbeda dengan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Kitab-kitab yang sebelumnya diturunkan hanya untuk suatu umat di masa itu, tetapi Al-Quran diturunkan untuk seluruh umat manusia di masa Nabi Muhammad dan seterusnya di masa sesudahnya sampai hari kiamat, karena nabi-nabi sebelum Muhammad SAW hanya diutus untuk kaumnya sedang Nabi Muhammad diutus untuk manusia di segala masa dan di semua tempat. Demikian pula Allah tidak menyebut nama Muhammad atau rasul-Nya tetapi menyebut “hamba-Nya” karena hendak memuliakan-Nya dengan gelar itu. Manusia yang benar-benar memperhambakan dirinya kepada Allah mengaku ke-Esaan dan kekuasaan-Nya, taat dan patuh menjalankan perintah-Nya selalu menjadikan petunjuk-Nya sebagai pedoman hidupnya, mencintai Allah secara hakiki lebih daripada apa pun di dunia ini, itulah hamba Allah yang hakiki, hamba Allah terkandung di dalam Surah Al-Furqan ini. Dan selanjutnya firman Allah SWT dalam surah Al-Qamar (54) ayat 49: 


Jadi segala sesuatunya telah terukur dengan sempurna, Allah telah memberikan sumberdaya yang cukup bagi seluruh manusia di dunia. Di dalam ayat-ayat lain Allah menyebut Nabi Muhammad SAW dengan predikat “hamba-Nya”. Seperti fitman-Nya dalam Surah Al-Isra’ (17) ayat 1:












Maksud dari ayat di atas adalah perjalanan Rasulullah dari Al-Masjidil Aqsha dan daerah-daerah sekitarnya mendapat berkat dari Allah dengan diturunkan nabi-nabi di negeri itu dan kesuburan tanahnya. Dan selanjutnya dalam firman-Nya pada Surah Al-Jin (72) ayat 19: 








Dan selanjutnya firman Allah SWT dalam surah Al-Kahfi (18) ayat 1:











Setelah Allah menyebutkan diri-Nya yang menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya, barulah Dia mensifati diri-Nya bahwa Dialah pemilik langit dan bumi dan yang berkuasa atas keduanya, mengutus dan mengurusnya menurut hikmah kebijaksanaan-Nya sesuai dengan kepentingan dan kemaslahatan mempunyai anak sebagaimana dituduhkan oleh kaum Nasrani, orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin, sebagaimana tersebut dalam firman Allah SWT dalam surah At-Taubah (9) ayat 30: 











Dan selanjutnya firman Allah SWT dalam Surah Ash-Shafaat (37) ayat 149-153:












Selanjutnya Allah menyatakan lagi bahwa Dia tidak bersekutu dengan lainnya dalam kekuasaan-Nya, hanya Dialah yang patut disembah dan kepada-Nya sajalah manusia harus memohonkan sesuatu, bukan seperti yang dilakukan oleh manusia-manusia yang telah sesat yang menyembah makhluk-Nya seperti menyembah manusia, berhala dan benda-benda lainnya. Kemudian Allah menyatakan pula bahwa Dialah pencipta segala sesuatu sesuai dengan hikmah kebijakan-Nya dan mengaturnya menurut kehendak dan imu-Nya. Dengan demikian, segala sesuatu dalam alam ini, baik langit maupun bumi adalah makhluk-Nya. Dialah penciptanya tak ada pencipta selain Dia, tak ada sekutu bagi-Nya yang patut disembah, semua berada di bawah kekuasaan-Nya dan tunduk patuh kepada sunah dan peraturan yang telah ditetapkan-Nya. Janganlah sekali-kali terbayang atau terlintas dalam pikiran manusia bahwa Dia mempunyai anak atau mempunyai sekutu. Berkaitan dengan hal di atas, konsep kelangkaan (scarcity) tidak bisa diterima karena tidak selaras dengan pesan wahyu yang menjamin kehidupan setiap makhluk di bumi ini. Pada sisi lain Mazhab Baqir As-Sadr juga menolak anggapan bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas. Sebab dalam kebutuhan tertentu misalnya makan dan minum manakala perut sudah merasa kenyang maka dia sudah merasa puas karena kebutuhannya telah terpenuhi. Sehingga kesimpulannya bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas sebagaimana dijelaskan dalam konsep law of diminishing marginal utility bahwa semakin banyak barang dikonsumsi maka pada titik tertentu justru akan menyebabkan tambahan kepuasan dari setiap tambahan jumlah barang yang dikonsumsi akan semakin berkurang. Hal ini menimbulkan terjadinya kesenjangan pemikiran yang menimbulkan kerancuan persepsi antara pengertian kebutuhan (need) dan keinginan (want). Jika perilaku manusia disandarkan pada keinginan (want), maka persoalan ekonomi tidak akan pernah selesai karena nafsu manusia selalu merasa tidak akan pernah puas. Di sinilah persoalan ekonomi yang dihadapi sekarang karena bertitik tolak pada keinginan (want) masyarakat sehingga tekanan ekonomi menjadi semakin kuat yang berdampak pada ketidakseimbangan, baik secara makroekonomi maupun mikroekonomi. Salah satu efek yang ditimbulkan dari perilaku ekonomi yang bertitik tolak pada keinginan (want), yaitu semakin rusaknya sistem keseimbangan lingkungan karena sumber-sumber daya ekonomi terkuras habis sekadar untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak akan pernah puas.
            Dalam perspektif ekonomi islam, perilaku ekonomi harus didasarkan pada kebutuhan (need) yang disandarkan pada nilai-nilai syariah Islam. Sebagai seorang muslim tidak diperbolehkan untuk selalu mengikuti setiap keinginan hawa nafsu, karena bisa jadi keinginan itu justru akan menimbulkan bencana bagi kehidupan diri dan lingkungan sekitarnya. Demikian juga dalam aktivitas ekonomi bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang muslim harus disandarkan pada syariah Islam, baik dalam aktivitas konsumsi, produksi, maupun distribusi. Moral ekonomi Islam yang didasarkan pada pengendalian hawa nafsu akan menjamin keberlangsungan (sustainability) kehidupan dan sumber daya ekonomi di dunia ini. Alokasi sumber daya ekonomi akan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara bijaksana dan bertanggung jawab, yaitu untuk menghasilkan barang dan jasa yang penting bagi masyarakat. Akan dihindari alokasi sumber daya ekonomi untuk hal-hal yang merusak dan merugikan seperti narkoba, pornografi, dll. Sehingga tidak timbul kekhawatiran akan nasib generasi manusia yang akan datang, karena tiap individu melakukan aktivitas ekonomi dan pengelolaan sumber daya ekonomi yang didasarkan pada kebutuhan (need) yang berlandaskan syariah Islam bukan hanya sekadar mengikuti keinginan (want) yang tidak akan pernah puas. Selanjutnya bahwa menurut Mazhab Baqir As-Sadr persoalan pokok yang dihadapi oleh seluruh umat manusia di dunia ini adalah masalah distribusi kekayaan yang tidak merata. Bagaimana anugerah yang diberikan Allah SWT kepada seluruh makjluk termasuk manusia bisa didistribusikan secara merata dan proporsional. Potensi sumber daya ekonomi yang diciptakan Allah SWT di alam semesta ini begitu melimpah, baik yang ada di darat maupun di laut. Jika dikelola dengan baik dan bijaksana niscaya semua individu di dunia dapat hidup secara layak dan manusiawi. Namun, fakta membuktikan bahwa tidak semua manusia dapat menikmati anugerah Allah tersebut sehingga masih banyak dari mereka yang hidup di bawah garis kemisikina, sementara sebagian kecil lainnya bergelimang dalam kemewahan. Menurut Mazhab Baqir As-Sadr untuk mewujudkan hal tersebut maka ada beberapa langkah yang dilakukan, yaitu sebagai berikut:
a.       Mengganti istilah ilmu ekonomi dengan istilah iqtishad yang mengandung arti selaras, setara, dan seimbang (in between)
b.      Menyusun dan merekonstruksi ilmu ekonomi tersendiri yang bersumber dari Al-Quran dan sunah.
Dalam hal itulah Mazhab Baqir As-Sadr mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam wacana perkembangan ilmu ekonomi islam.

Pendapat :
Menurut saya Mazhab Baqir As-Sadr termasuk dalam pendekatan normatif karena apa yang beliau sampaikan dalam buku Iqtishaduna (Ekonomi Kita) bersumber dari Al-Quran dan Hadist atau Sunah Nabi. Kebenarannya bersifat mutlak yang murni dari firman Allah SWT tanpa ada campur tangan manusia. Pemikiran beliau merujuk dari hadis-hadis nabi dan Al-Quran. Jadi apa yang beliau sampaikan berdasarkan hadis-hadis nabi dan Al-Quran. Bisa dilihat juga dari yang beliau sampaikan banyak diperjelas dengan ayat-ayat Al-Quran. Sehingga dapat memperkuat pemikirannya.

Sumber :
Rivai, Veithzal dan Andi Buchari. 2009. ISlAMIC ECONOMICS Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tetapi Solusi!. Jakarta: Bumi Aksara.
Fitri, Ambardi Abu. 2010.”3 MAZHAB EKONOMI ISLAM KONTEMPORER”. Diakses dari http://abufitriambardi.blogspot.co.id/2010/10/3-mazhab-ekonomi-islam-kontemporer.html pada 29 Desember 2015.
Fauzia, Ika Yunia dan Abdul Kadir Riyadi. 2014. Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid al-Syariah. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar